TropikaEnergi.Com--Kecenderungan negara-negara dunia memperpendek jarak tempuh jalur niaga Asia merupakan pertarungan inter Asianisasi. Saba...
TropikaEnergi.Com--Kecenderungan negara-negara dunia memperpendek jarak tempuh jalur niaga Asia merupakan pertarungan inter Asianisasi. Sabang berpeluang, tapi bakal disikat oleh para Taipan.
Begitulah kalau teknologi dan manajemen telah menggantikan fungsi bayonet dan peluru sebagai kekuatan pembentukan jaring niaga abad kini, maka jarak perdagangan dunia yang dibelah lautan makin pendek.
Pada abad ke-21, sejumlah pakar sudah meneliti secara mendalam kecenderungan mempersingkat jalur niaga tersebut. Bahkan, Heri Muliono, pakar Free Trade Zone Batam pada tahun 2001 telah menerbitkan karya ilmiah yang cukup inspiratif. Ia mengulas sudut sejarah pergeseran jalur niaga Nusantara masa silam untuk bisa ditransformasikan pada kawasan industri Batam. Dan Batam merupakan “korban” politik global dan lemahnya politik internasional domestik Indonesia.
Pada masa pemerintahan Joko Widodo, letupan gagasan tol laut yang merupakan katalisator Indonesia sebagai poros maritim dunia bukanlah pengecualian dari kecenderungan tersebut. Tapi, alih-alih mengoptimalkan posisi strategis geografis dan astronomis Indonesia, tol laut tak ubah sub ordinat politik internasional Jalur Sutera-nya China, tanpa India. Padahal pada masa lalu perlintasan komersil lintas samudera Pasifik-India juga dimotori oleh pelaut nusantara. Sehingga pada masa kini bilateralisme Indonesia seharusnya bekerja sebagai komandan aliansi arkipelagik dalam menggenapi upaya Cina plus India terhadap kapitalisasi jalur sutera tersebut.
Tol laut memang tidak bisa disandingkan dengan mega proyek Terusan Kra. Tapi ambisinya sama: memperpendek perlintasan pelayaran. Dan jika keberadaan Indonesia masih di bawah bayang-bayang Jalur Sutera China, nasib kedepannya juga bakal sama dengan terusan yang menghubungkan Laut Andaman dan Teluk Siam (Cina Selatan) itu.
Lagendaris Terusan Kra hanya menjadi rencana. Sejak pertama kali tercetus pada 1677 pada masa pemerintahan Raja Siam, Narai Agung (1656-1688), Thailand, sampai sekarang isunya turun-naik dan terombang-ambing. China tetap akan fokus hanya menggarap kepentingan ekonomi dan politiknya. Serupa juga dengan penentangnya, sambil menggalang dukungan sana-sini.
Dunia Barat yang diwakili AS bersama dengan Singapura anak emasnya bakal menghadang. Tahun 2005 misalnya. Ketika laporan Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld bocor ke Washington Times, militer AS versus China kembali bersitegang unjuk gigi di Laut China Selatan. Raksasa media AS itu membocorkan bahwa China mempersiapkan US$ 20 miliar melalui Tanah genting Kra yang diperlengkap dengan fasilitas komplit pelabuhan China. Tujuan China sudah bisa ditebak. Ini strategi negeri Tirai Bambu itu menguasai pangkalan dan keamanan energi.
Pada 2014 pembangunannya kembali dipercepat. Kali ini perusahaan plat merah Cina dan swasta-nya yang pasang badan. Seperti XCMG, LiuGong Machinery Co. Ltd dan Sany Heavy Industry Co. Ltd. Pemerintah China tidak mengaku menandatangani dengan Thailand. China bermain di dua kaki. Ambisi menguasai jalur pelayaran dunia dan pangkalan energi juga ada pada kawasan Lembah Mekong. Saat isu Terusan Kra turun, pada saat yang sama Lembah Mekong digenjot.
Banyak insinyur dunia memprediksi: bila Terusan Kra hidup bakal mengubah geo-ekonomi global. Asia Timur makin berkuasa; posisi Batam dan Singapura terancam. Kapal-kapal niaga Eropa tidak perlu lagi berlayar ke jalur Selat Malaka untuk menuju Asia Timur, karena lebih panjang. Mereka bisa memotong Semenanjung Malaka di perbatasan Thailand dan Malaysia yang lebih pendek.
Selat Malaka tidak dikatakan terancam keseluruhan. Sebab rencana strategis itu akan mengerek pelabuhan Sabang membaik. Bila kapal-kapal niaga dan kargo dari Terusan Kra hendak berlayar ke arah Afrika atau Asia Selatan lewat Laut Benggala atau Samudera Indonesia, otomatis lewat Sabang.
Mungkin, dalam kerangka geografi ekonomi demikianlah menjadi salahsatu pemicu Munawar Liza Zainal, menghidupkan ”zombie” Sabang sebagai pelabuhan dunia sebagaimana zaman emasnya, lima abad lampau. Saat menjadi Walikota Sabang 2007-2012, isu ini ia jadikan blue print pembangunan infrastuktur daerah-nya. Tapi jangankan mega proyek infrastuktur laut, untuk kelas pariwisata saja, justeru yang lebih peduli terhadap Sabang adalah Malaysia.
Wilayah Indonesia, juga Asia Tenggara, terasa akan dibelah dengan isu pemendekatan jalur tersebut. Jalur kawasan Barat, besar-kecilnya tetap akan ramai. Kawasan Timur, tak beranjak sepadat seperti kawasan Barat. Terkecuali, rezim Jokowi sukses besar menegakan Nawa Cita pembangunan infrastruktur dan pusat-pusat baru industri Indonesia Timur.
Banyak pakar menilai, pemendekan jalur niaga di Asia sebagai bagian dari semangat” Asianisasi, yang menurut ekonom Jepang, Yoichi Funabashi, sebagai bentuk kesadaran bangsa Asia mendefinisikan diri. Kesadaran ini, catat Yoichi, digelorakan para kelompok kelas menengah dan barisan teknokrat yang sadar untuk mengimbangi hegemoni Barat.
Tapi Asianisasi untuk proyek strategis sekelas ekonomi-geografi jalur niaga adalah klise belaka. Mengapa demikian? Ada banyak varibel yang teramat kompleks. Dan itu merujuk pada perebutan sumber daya keunggulan komparatif geografis dan astronomis, pengolahan sampai jasa distribusinya hingga banyak sekali melahirkan traktat-traktat multilateral. Tiap negara, perebutan sumber daya tersebut masing-masing disponsori oleh para Taipan inter Asia dan global yang sekarang memegang kendali sentra-sentra ekonomi-politik di regional Asia-Afrika. Dan itu sudah pasti melindungi kepentingan ekonomi-politik nasionalnya masing-masing, menggunakan sentimen jati diri Asia itu sendiri.
Melindungi kepentingan inilah akan cenderung menggoda Asianisasi menggunakan model neo-liberalisme bangsa yang mereka kecam sebagai kekuatan hegemonik. Arah neo-liberalisme kian menggoda karena para penguasa Asia sama-sama sedang berkepentingan menghimpun diri dalam Komunitas Ekonomi Asia Tenggara dan Komunitas Ekonomi Asia Timur.
Semangat Asianisasi untuk urusan jalur niaga tampak bukan sebagai upaya membangun ’dunia lain yang layak’ (another world is possible) dalam revitalisasi jati diri Asia. Sebab pada akhirnya juga, Asianisasi yang telah terkapling-kapling oleh kepentingan korporasi global tak ubah foto copy ideologi neo-liberalisme Barat, yang padahal terbukti dalam banyak hal semakin tidak relevan.
Pertengkaran inter Taipan Asia dalam melindungi kepentingan sayap bisnisnya masing-masing sekarang ini juga nampak sebagai pro-kontra model neo-liberalisme itu. Setiap China menggenjot pembangunan Terusan Kra, Singapura yang oportunis, anak emas AS dan sekaligus sudah seperti “provinsi” nya pemerintah China hanya bisa kompromi dengan membagi-bagi kapling penguasaan jalur pelayarannya kepada tuan-tuan petro dollar dan yuan sebagai jalan tengah.
Para pendekar bisnis China tahu betul kompromi yang ditawar Singapura. Maka, ketika pembangunan Terusan Kra mengendur, nampak ada perlawanan dalam isu jalur niaga ini merambah ke kawasan lain. Tahun 2015, melalui Koridor Ekonomi China-Pakistan, China mendapatkan konsesi dari Pakistan selama 40 tahun untuk mengoperasikan Gwadar, sebuah pelabuhan laut dalam di Pakistan.
Pelabuhan itu menghubungan Xinjiang, wilayah bergejolak di Barat China dengan Balochistan, sebuah provinsi bagian barat Pakistan di Laut Arab. Dan investasi China pada proyek energi dan infrastruktur dalam koridor ekonomi tersebut sebesar US$ 46 miliar. Imbalannya: China leluasa mengkapitalisasi habis habisan “berkah” geografis Gwadar di Laut Arab. Kawasan inilah salah satu pintu masuk untuk menguasai jalur niaga ke Asia Selatan dan negara-negara Teluk di Timur Tengah selain via pelabuhan Mumbai di India, Karachi di Pakistan dan Bandar Abbas di Iran.
Pada jalur perlintasan global, Gwadar di Laut Arab berada tepat di mulut Teluk Persia di luar Selat Hormuz. Inilah salahsatu gerbang masuk lalu lintas 20 persen minyak dunia. Dan kita tahu bahwa Asia Tengah, negara-negara pecahan Uni Soviet, merupakan kawasan penghasil minyak terbesar kedua di dunia setelah negara-negara Teluk di Timur Tengah. Sementara jarak tempuh Koridor Ekonomi China-Pakistan itu hanya sekitar 3.000 km dari Gwadar ke kota barat laut China Kashgar. Pada masa lalu, ini jalur sutera yang menghubungkan China dengan Eurasia dan Afrika.
Hong Kong Pheonix TV melaporkan, minyak dari negeri Teluk itu mudah untuk bersandar ke Gwadar dan diangkut ke China. Atau bisa menggunakan pipa raksasa yang memotong jalur samudera Hindia dan Malaka dari 12.000 km hanya menjadi 2.395 km. Bayangkan betapa pendeknya.
Mega proyek Gwadar menjadi premis mayor kenapa Indonesia terkesan takut menggandeng India dalam mega proyek fisik pembangunan, khususnya infrastruktur dan kapitalisasi jalur niaga Indonesia-India yang sangat mesra secara historis-kebudayaan di masa lalu.
Perlawanan India terhadap Gwadar diwujudkan dengan menggandeng Iran pada 2015 dalam mega proyek dermaga Chabahar, perbatasan Iran-Pakistan. Ini menjadi harga diri India yang bermusuhan hebat dengan Pakistan. Selain itu, tentu untuk mengamankan dominasi jalur niaga Mumbai ke negara-negara Asia Tengah yang terkunci oleh daratan itu, sekaligus sebagai bagian dari revitalisasi geo ekonomi Bandar Abbas Iran yang sudah melemah akibat gesekan politik global Iran versus Barat.
Selain menguasai Gwadar, China juga menggenjot pembangunan Sungai Mekong. Lembah lagendaris ini bukan semata mata sebagai salah satu lumbung ketahanan air dan pembangkit energi China. Tapi juga medan produksi dan investasinya dalam membendung rivalnya sekawasan Pasifik: Jepang, Korea Selatan dan India. Tiga Negara ini memenuhi semua syarat kemajuan China dalam menguasai ekonomi dan energi dunia. Masyarakat Ekonomi ASEAN+China, Jepang, Korea Selatan dan India benar-benar menjadi pasar empat negeri kekuatan ekonomi Asia itu.
Untuk memenangi pertempuran ekonomi, China paling agresif menawarkan aneka bantuan kepada negara-negara hilir sungai Mekong di Asia Tenggara. Khususnya infrastuktur, yang dalam Koridor Ekonomi China-ASEAN berupa Kereta Trans-Asia. Indonesia sudah menjadi “korban” koridor Trans-Asia itu. Yang paling nampak adalah pemerintah China mendikte pemerintah Indonesia dalam pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung, yang tidak masuk dalam blue print pembangunan RI 2014-2019, sehingga layak disebut dengan “pembangunan siluman”.
Para aktivis lingkungan Thailand, Laos, Kamboja, dan Vietnam, menuding China sebagai biang defisitnya debit air, akibat pembangunan bendungan-bendungan raksasa China di lembah itu. Tahun 2010 protes ini dilancarkan tepat pada pertemuan Komisi Sungai Mekong (MRC). Anggotanya terdiri dari negara-negara ekosistem aliran lembah sungai ini, yakni negara asal para aktivis lingkungan tadi. Siapa sponsor mereka?
Pemerintah AS dan Singapura sudah pasti girang dengan isu lingkungan itu. Sementara pemerintah Indonesia, dengan gaya diplomasi non-blok, hanya menonton. Tapi sambil berakrobat, memberi jalan kepada China dan Singapura untuk menguasai daratan, laut dan udara Khatulistiwa. [Alfi Rahmadi]
Politik Jalur Niaga
Gambar Ilustrasi China dan Asia Tenggara |
Pada abad ke-21, sejumlah pakar sudah meneliti secara mendalam kecenderungan mempersingkat jalur niaga tersebut. Bahkan, Heri Muliono, pakar Free Trade Zone Batam pada tahun 2001 telah menerbitkan karya ilmiah yang cukup inspiratif. Ia mengulas sudut sejarah pergeseran jalur niaga Nusantara masa silam untuk bisa ditransformasikan pada kawasan industri Batam. Dan Batam merupakan “korban” politik global dan lemahnya politik internasional domestik Indonesia.
Pada masa pemerintahan Joko Widodo, letupan gagasan tol laut yang merupakan katalisator Indonesia sebagai poros maritim dunia bukanlah pengecualian dari kecenderungan tersebut. Tapi, alih-alih mengoptimalkan posisi strategis geografis dan astronomis Indonesia, tol laut tak ubah sub ordinat politik internasional Jalur Sutera-nya China, tanpa India. Padahal pada masa lalu perlintasan komersil lintas samudera Pasifik-India juga dimotori oleh pelaut nusantara. Sehingga pada masa kini bilateralisme Indonesia seharusnya bekerja sebagai komandan aliansi arkipelagik dalam menggenapi upaya Cina plus India terhadap kapitalisasi jalur sutera tersebut.
Tol laut memang tidak bisa disandingkan dengan mega proyek Terusan Kra. Tapi ambisinya sama: memperpendek perlintasan pelayaran. Dan jika keberadaan Indonesia masih di bawah bayang-bayang Jalur Sutera China, nasib kedepannya juga bakal sama dengan terusan yang menghubungkan Laut Andaman dan Teluk Siam (Cina Selatan) itu.
Lagendaris Terusan Kra hanya menjadi rencana. Sejak pertama kali tercetus pada 1677 pada masa pemerintahan Raja Siam, Narai Agung (1656-1688), Thailand, sampai sekarang isunya turun-naik dan terombang-ambing. China tetap akan fokus hanya menggarap kepentingan ekonomi dan politiknya. Serupa juga dengan penentangnya, sambil menggalang dukungan sana-sini.
Dunia Barat yang diwakili AS bersama dengan Singapura anak emasnya bakal menghadang. Tahun 2005 misalnya. Ketika laporan Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld bocor ke Washington Times, militer AS versus China kembali bersitegang unjuk gigi di Laut China Selatan. Raksasa media AS itu membocorkan bahwa China mempersiapkan US$ 20 miliar melalui Tanah genting Kra yang diperlengkap dengan fasilitas komplit pelabuhan China. Tujuan China sudah bisa ditebak. Ini strategi negeri Tirai Bambu itu menguasai pangkalan dan keamanan energi.
Pada 2014 pembangunannya kembali dipercepat. Kali ini perusahaan plat merah Cina dan swasta-nya yang pasang badan. Seperti XCMG, LiuGong Machinery Co. Ltd dan Sany Heavy Industry Co. Ltd. Pemerintah China tidak mengaku menandatangani dengan Thailand. China bermain di dua kaki. Ambisi menguasai jalur pelayaran dunia dan pangkalan energi juga ada pada kawasan Lembah Mekong. Saat isu Terusan Kra turun, pada saat yang sama Lembah Mekong digenjot.
Banyak insinyur dunia memprediksi: bila Terusan Kra hidup bakal mengubah geo-ekonomi global. Asia Timur makin berkuasa; posisi Batam dan Singapura terancam. Kapal-kapal niaga Eropa tidak perlu lagi berlayar ke jalur Selat Malaka untuk menuju Asia Timur, karena lebih panjang. Mereka bisa memotong Semenanjung Malaka di perbatasan Thailand dan Malaysia yang lebih pendek.
Selat Malaka tidak dikatakan terancam keseluruhan. Sebab rencana strategis itu akan mengerek pelabuhan Sabang membaik. Bila kapal-kapal niaga dan kargo dari Terusan Kra hendak berlayar ke arah Afrika atau Asia Selatan lewat Laut Benggala atau Samudera Indonesia, otomatis lewat Sabang.
Mungkin, dalam kerangka geografi ekonomi demikianlah menjadi salahsatu pemicu Munawar Liza Zainal, menghidupkan ”zombie” Sabang sebagai pelabuhan dunia sebagaimana zaman emasnya, lima abad lampau. Saat menjadi Walikota Sabang 2007-2012, isu ini ia jadikan blue print pembangunan infrastuktur daerah-nya. Tapi jangankan mega proyek infrastuktur laut, untuk kelas pariwisata saja, justeru yang lebih peduli terhadap Sabang adalah Malaysia.
Wilayah Indonesia, juga Asia Tenggara, terasa akan dibelah dengan isu pemendekatan jalur tersebut. Jalur kawasan Barat, besar-kecilnya tetap akan ramai. Kawasan Timur, tak beranjak sepadat seperti kawasan Barat. Terkecuali, rezim Jokowi sukses besar menegakan Nawa Cita pembangunan infrastruktur dan pusat-pusat baru industri Indonesia Timur.
Banyak pakar menilai, pemendekan jalur niaga di Asia sebagai bagian dari semangat” Asianisasi, yang menurut ekonom Jepang, Yoichi Funabashi, sebagai bentuk kesadaran bangsa Asia mendefinisikan diri. Kesadaran ini, catat Yoichi, digelorakan para kelompok kelas menengah dan barisan teknokrat yang sadar untuk mengimbangi hegemoni Barat.
Tapi Asianisasi untuk proyek strategis sekelas ekonomi-geografi jalur niaga adalah klise belaka. Mengapa demikian? Ada banyak varibel yang teramat kompleks. Dan itu merujuk pada perebutan sumber daya keunggulan komparatif geografis dan astronomis, pengolahan sampai jasa distribusinya hingga banyak sekali melahirkan traktat-traktat multilateral. Tiap negara, perebutan sumber daya tersebut masing-masing disponsori oleh para Taipan inter Asia dan global yang sekarang memegang kendali sentra-sentra ekonomi-politik di regional Asia-Afrika. Dan itu sudah pasti melindungi kepentingan ekonomi-politik nasionalnya masing-masing, menggunakan sentimen jati diri Asia itu sendiri.
Melindungi kepentingan inilah akan cenderung menggoda Asianisasi menggunakan model neo-liberalisme bangsa yang mereka kecam sebagai kekuatan hegemonik. Arah neo-liberalisme kian menggoda karena para penguasa Asia sama-sama sedang berkepentingan menghimpun diri dalam Komunitas Ekonomi Asia Tenggara dan Komunitas Ekonomi Asia Timur.
Semangat Asianisasi untuk urusan jalur niaga tampak bukan sebagai upaya membangun ’dunia lain yang layak’ (another world is possible) dalam revitalisasi jati diri Asia. Sebab pada akhirnya juga, Asianisasi yang telah terkapling-kapling oleh kepentingan korporasi global tak ubah foto copy ideologi neo-liberalisme Barat, yang padahal terbukti dalam banyak hal semakin tidak relevan.
Pertengkaran inter Taipan Asia dalam melindungi kepentingan sayap bisnisnya masing-masing sekarang ini juga nampak sebagai pro-kontra model neo-liberalisme itu. Setiap China menggenjot pembangunan Terusan Kra, Singapura yang oportunis, anak emas AS dan sekaligus sudah seperti “provinsi” nya pemerintah China hanya bisa kompromi dengan membagi-bagi kapling penguasaan jalur pelayarannya kepada tuan-tuan petro dollar dan yuan sebagai jalan tengah.
Para pendekar bisnis China tahu betul kompromi yang ditawar Singapura. Maka, ketika pembangunan Terusan Kra mengendur, nampak ada perlawanan dalam isu jalur niaga ini merambah ke kawasan lain. Tahun 2015, melalui Koridor Ekonomi China-Pakistan, China mendapatkan konsesi dari Pakistan selama 40 tahun untuk mengoperasikan Gwadar, sebuah pelabuhan laut dalam di Pakistan.
Pelabuhan itu menghubungan Xinjiang, wilayah bergejolak di Barat China dengan Balochistan, sebuah provinsi bagian barat Pakistan di Laut Arab. Dan investasi China pada proyek energi dan infrastruktur dalam koridor ekonomi tersebut sebesar US$ 46 miliar. Imbalannya: China leluasa mengkapitalisasi habis habisan “berkah” geografis Gwadar di Laut Arab. Kawasan inilah salah satu pintu masuk untuk menguasai jalur niaga ke Asia Selatan dan negara-negara Teluk di Timur Tengah selain via pelabuhan Mumbai di India, Karachi di Pakistan dan Bandar Abbas di Iran.
Pada jalur perlintasan global, Gwadar di Laut Arab berada tepat di mulut Teluk Persia di luar Selat Hormuz. Inilah salahsatu gerbang masuk lalu lintas 20 persen minyak dunia. Dan kita tahu bahwa Asia Tengah, negara-negara pecahan Uni Soviet, merupakan kawasan penghasil minyak terbesar kedua di dunia setelah negara-negara Teluk di Timur Tengah. Sementara jarak tempuh Koridor Ekonomi China-Pakistan itu hanya sekitar 3.000 km dari Gwadar ke kota barat laut China Kashgar. Pada masa lalu, ini jalur sutera yang menghubungkan China dengan Eurasia dan Afrika.
Hong Kong Pheonix TV melaporkan, minyak dari negeri Teluk itu mudah untuk bersandar ke Gwadar dan diangkut ke China. Atau bisa menggunakan pipa raksasa yang memotong jalur samudera Hindia dan Malaka dari 12.000 km hanya menjadi 2.395 km. Bayangkan betapa pendeknya.
Mega proyek Gwadar menjadi premis mayor kenapa Indonesia terkesan takut menggandeng India dalam mega proyek fisik pembangunan, khususnya infrastruktur dan kapitalisasi jalur niaga Indonesia-India yang sangat mesra secara historis-kebudayaan di masa lalu.
Perlawanan India terhadap Gwadar diwujudkan dengan menggandeng Iran pada 2015 dalam mega proyek dermaga Chabahar, perbatasan Iran-Pakistan. Ini menjadi harga diri India yang bermusuhan hebat dengan Pakistan. Selain itu, tentu untuk mengamankan dominasi jalur niaga Mumbai ke negara-negara Asia Tengah yang terkunci oleh daratan itu, sekaligus sebagai bagian dari revitalisasi geo ekonomi Bandar Abbas Iran yang sudah melemah akibat gesekan politik global Iran versus Barat.
Selain menguasai Gwadar, China juga menggenjot pembangunan Sungai Mekong. Lembah lagendaris ini bukan semata mata sebagai salah satu lumbung ketahanan air dan pembangkit energi China. Tapi juga medan produksi dan investasinya dalam membendung rivalnya sekawasan Pasifik: Jepang, Korea Selatan dan India. Tiga Negara ini memenuhi semua syarat kemajuan China dalam menguasai ekonomi dan energi dunia. Masyarakat Ekonomi ASEAN+China, Jepang, Korea Selatan dan India benar-benar menjadi pasar empat negeri kekuatan ekonomi Asia itu.
Untuk memenangi pertempuran ekonomi, China paling agresif menawarkan aneka bantuan kepada negara-negara hilir sungai Mekong di Asia Tenggara. Khususnya infrastuktur, yang dalam Koridor Ekonomi China-ASEAN berupa Kereta Trans-Asia. Indonesia sudah menjadi “korban” koridor Trans-Asia itu. Yang paling nampak adalah pemerintah China mendikte pemerintah Indonesia dalam pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung, yang tidak masuk dalam blue print pembangunan RI 2014-2019, sehingga layak disebut dengan “pembangunan siluman”.
Para aktivis lingkungan Thailand, Laos, Kamboja, dan Vietnam, menuding China sebagai biang defisitnya debit air, akibat pembangunan bendungan-bendungan raksasa China di lembah itu. Tahun 2010 protes ini dilancarkan tepat pada pertemuan Komisi Sungai Mekong (MRC). Anggotanya terdiri dari negara-negara ekosistem aliran lembah sungai ini, yakni negara asal para aktivis lingkungan tadi. Siapa sponsor mereka?
Pemerintah AS dan Singapura sudah pasti girang dengan isu lingkungan itu. Sementara pemerintah Indonesia, dengan gaya diplomasi non-blok, hanya menonton. Tapi sambil berakrobat, memberi jalan kepada China dan Singapura untuk menguasai daratan, laut dan udara Khatulistiwa. [Alfi Rahmadi]