Energi panas laut TropikaEnergi.Com—Pemerintah Jepang baru tergerak mengembangkan energi termal lautan di Pulau Morotai, provinsi Maluku...
Energi panas laut
TropikaEnergi.Com—Pemerintah Jepang baru tergerak mengembangkan energi termal lautan di Pulau Morotai, provinsi Maluku Utara. Bakal menyalib Hawaii.Tahun 1974 Perang Dunia II meletup lagi. Kali ini pertempuran sains-teknologi dua kutup berserangan pada Perang Dunia tersebut. Dan itu sama-sama proyek perdana, berupa penelitian terapan dan pengembangan konservasi energi termal lautan atau Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC).
Amerika menjadikan Hawaii sebagai kelinci percobaan, yang saat itu tergolong proyek OTEC terbesar di dunia. Sedangkan Jepang memilih daratan Osumi dan Toyama. Namun kontur alamiah dimana-mana pasti lebih unggul. Terbukti, "Sunshine Project", eksperimental OTEC Jepang tidak berjalan mulus. AS tak banyak mengalami hambatan. Sebab geografis Hawaii memang dikenal sebagai wilayah tropis.
Uniknya, pada tahun yang sama, Morotai di Indonesia menjadi saksi sejarah pertempuran militer paling unik dunia. Pada tahun itulah Teruo Nakamura, seorang prajurit Angkatan Darat Jepang baru keluar dari tempat persembunyian di hutan Morotai setelah Jepang kalah dari Sekutu pada Perang Dunia II. Ketika semua pasukan Jepang yang ditempatkan di Pulau Morotai menyerah, September 1944, Nakamura pantang mundur. Ia memilih bersembunyi 30 tahun lamanya. Dunia gempar. Time menulis peristiwa itu dengan tajuk The Last Soldier, 13 Januari 1975.
Andai jarum jam sejarah bisa diulang dengan menjadikan Morotai sebagai pilihan kala itu, pertempuran sains dan teknologi konservasi energi panas laut tersebut bisa dipastikan dimenangkan oleh Jepang. Reputasi Morotai sebagai surga wisata juga bakal melampaui Hawaii.
AS memilih Hawaii tak lain karena topografi lautnya hangat dan kedalaman lautnya yang dingin. Ini merujuk pada prinsip dasar teknologi pembangkit tersebut bekerja: memanfaatkan perbedaan temperatur antara permukaan air laut hangat dan kedalamannya yang dingin.
Untuk menghasilkan energi listrik, minimal temperatur kedalamannya antara 20-25°C dengan kedalaman antara 600-1000 meter. Pemanfaatan siklus perbedaan temperatur itulah yang menghasilkan tekanan uap hingga menjadi sumber utama penggerak turbin. Sistem kerjanya mirip dengan mesin uap. AS memang tak punya pilihan lain kecuali menggarap Hawaii, negara bagian-nya yang paling beriklim tropis itu. Sebab sinar matahari sebagai sumber nutrisi kehidupan yang diserap oleh air laut permukaan hanya dapat menembus sampai 100 meter kedalaman air.
Padahal, pulau yang menjadi tempat persembunyian Teruo Nakamura itu jauh lebih efisien. Stabilitas oseanografi Morotai punya malaikat pelindung berkat konstanta iklim tropis pada sistem astronomis wilayah Timur Indonesia yang berada pada posisi paling tengah dari garis Khatulistiwa dunia.
Anugerah Tuhan atas posisi tersebut menjadikan Morotai tidak memiliki musin dingin dan panas yang ekstrim sebagaimana umumnya iklim wilayah Indonesia. Hutan-hujan dan pegunungan tropis Indonesia secara alamiah menjadi hakim yang mengadili kesimbangan ekosistem darat, laut dan udaranya. Termasuk dalam melindungi kekayaan hayati dan nirhayai daratan dan lautannya. Keseimbangan ini tercipta manakala fotosentesis hutan-hutan tropis tersebut memproses tekanan suhu udara.
Di Morotai sampai sekarang, suhu permukaan air lautnya tetap stabil, meskipun secara geografis pulau ini berhadapan langsung dengan bibir Pasifik. Hasil pengukuran Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 2005 pada 14 stasiun pengamatan membuktikan hal itu. Suhu permukaan laut Morotai berkisar antara 29.0 – 30.1 derajat Celcius.
Tak jauh berbeda, pengamatan dari Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKSPL) Institut Pertanian Bogor 2006) juga menunjukan kesamaan hasil. Pada 10 stasiun yang diamati, suhu permukaan air laut Morotai berkisar 29.72 sampai 30.51 derajat Celcius. Ini sebangun dengan tingkat variasi suhu air laut wilayah tropis Indonesia sepanjang tahun yang tidak berbeda jauh, berkisar antara 27-32 derajat Celcius pada suhu permukaan lautnya.
Stabilitas suhu permukaan laut tersebut menunjukan laut Pulau Morotai berkualitas perairan tenang dan hangat. Ini merupakan habibat alamiah yang sangat intensif dalam budidaya sumber kelaut an. Antara lain rumput laut, tuna, lobster, kerapu dan mutiara. Diperlengkap dengan puluhan pulau-pulau kecil, turut menjadi pesona tersendiri bagi para penggila diving.
Kedalaman lautnya juga menjadi ekosistem yang empuk bagi plasma nutfah dan nirhayati lainnya seperti terumbu karang. Bak paket lengkap, Morotai memiliki ke dalaman laut yang simbang. Tingkat kedalaman perairan laut Morotai yang bersambungan dengan Samudera Pafisik mencapai lebih dari 200 meter.
Morotai juga punya perairan laut dangkal, kurang dari 200 meter di sebelah barat dan selatan yang berbatasan dengan Pulau Halmahera. Di samping itu Morotai juga punya dasar laut yang langsung curam, sangat terjal. Kedalamannya lebih dari 200 meter. Antara lain terdapat di Tanjung Gila, ujung barat Pulau Morotai, sekitar 200 meter dari garis pantai.
Hasil pengamatan PKSPL-IPB 2006 menggambarkan: batimetri di sekitar pulau-pulau kecil Morotai punya tingkat kerumitan terhadap kondisi dasar laut yang ditutupi oleh terumbu karang. Dengan morfologis semacam itu, praktis terumbu karang yang berada pada dasar laut curam itu terjaga secara alamiah.
Unikum stabilitas suhu, limpahan sinar matahari yang tersimpan secara alamiah di perairannya serta keseimbangan kedalaman laut Morotai itulah pada gilirannya menjadi sumber energi panas laut yang strategis dan ekonomis. Dalam sebuah kajian, dengan total luas samudera dan lautan Indonesia yang mencapai 70 % dari luas permukaan bumi, dapat menerima 24 jam energi matahari sebesar 215 Watt per meter persegi. Jumlah keseluruhannya bisa mencapai sebesar 1.7 x 1010 Megawatt.
Dari jumlah ini saja, dan terhimpun dari perairan daerah-daerah Indonesia di sekitar garis Khatulistiwa, mampu menutup kebutuhan listrik AS awal abad millennium sekitar 6.7 x 1010 Megawatt. Atau setara dengan 0.004% dari energi surya yang terkumpul dari perairan daerah Khatulistiwa tersebut.
Jadi, jelas sekali Morotai lebih memiliki keunggulan komparatif dibanding Hawaii. Sehingga satu-satunya kemauan AS mengembangkan energi panas laut di Hawaii lebih diputuskan dengan alasan politis dibanding geostrategis kewilayahan. Pada era 1970-an, Hawaii merupakan negara bagian yang paling terlantar elektrifikasinya di negeri feredasi tersebut. Tarif listriknya lebih mahal dibanding negara-negara bagian lainnya.
Kalau pun AS coba-coba memperlebar proyek pengembangan OTEC di daerah-daerah Teluk Meksiko dan sekitar Puerto Rico, tetangganya Hawaii, ini pun kalah kompetitif. Sebab perbedaan temperatur permukaan air laut hangat 20-30% dengan air laut dingin pada kedalaman laut sepanjang teluk itu tergolong kecil dibanding dengan daerah tropis Indonesia. Konstruksi stasiun OTEC pada kawasan utara AS itupun harus lebih kokoh. Tak lain agar tak tumbang diterjang besarnya arus gelombang laut yang sering disertai dengan angin taufan pada kawasan tersebut.
Memang, suhu perairan tropis Morotai yang berada di bibir Pasifik pada umumnya menunjukan karakter masa air yang sangat dipengaruhi oleh air laut lepas. Karakter ini turut mencerminkan perairan yang rentan disapu oleh perubahan iklim dan pemanasan global. Tapi separah-parahnya pergeseran itu, ancamannya tidak seekstrim seperti yang dialami Hawaii.
Sejak tiga tahun terakhir, iklim tropis Hawaii terkoyak dengan sejumlah peristiwa badai salju. Dunia geger, bahkan pers Barat menyimpulkan peristiwa itu sebagai kiamat Hawaii. Suhu permukaan air laut Hawaii praktis tidak lagi stabil. Pada Juli 2015, hujan badai salju menyerang puncak tertinggi Hawaii hingga menutup permukaan pegunungan setinggi 3-5 sentimeter. Bahkan temperatur di puncaknya beberapa kali mencapai titik beku. Padahal bulan itu musim panas.
Menutup akhir tahun 2016, kepulauan tropis Hawaii kembali dihajar badai. Ketebalan saljunya mencapai 90 sentimeter atau sekitar 3 kaki. Cuaca makin ekstrim ketika Hawaii diterjang air hujan deras dengan temperature sekitar 20 derajat Celcius.
Menurut Axel Timmermann, pakar iklim dari International Pacific Research Center University of Hawaii di Manoa, AS, aneka peristiwa pemutihan karang di Kepulauan Hawaii sesungguhnya menunjukan Hawaii tak luput dari ancaman global warming. Menurutnya, kenaikan suhu permukaan laut di wilayah Pasifik Utara begitu cepat menerjang sejak 2015.
Kenaikan terjadi akibat angin musim barat yang turut serta mendorong sejumlah air hangat di perairan Pasifik barat dan timur tidak menentu. Angin itulah yang mempercepat laju ketidakstabilan iklim di sepanjang pantai Amerika Utara. Angin tersebut melepaskan hawa panas yang sebelumnya terkurung di wilayah Pasifik barat selama satu dekade. "Suhunya bahkan melewati rekor El Nino 1998, dan kini menyebar dari utara Papua Nugini sampai Teluk Alaska," papar Axel Timmermann.
Studi Axel Timmermann mengindikasikan bahwa meningkatnya panas pada permukaan laut sudah tidak mampu lagi dalam menyerap karbon dioksida (CO2) dari atmosfir bumi. Padahal laut menjadi tumpuan bumi dalam meringankan ancaman perubahan suhu udara.
Dalam kajian Dr. John Shepherd dari Lembaga Oseanografi Inggris di Southampton, laut selama ini menyerap lebih dari separuh panas matahari yang didistribusikan ke seluruh permukaan bumi. Dengan pergeseran ini, kehandalan laut tropis Hawaii sebagai tameng perubahan iklim di AS sudah sulit diandalkan. Maklum, kemampuan penyerapan karbon dioksida lautan Hawai sudah jebol. Energi panas laut Hawaii benar-benar terancam kiamat.
Maka bagi kaum pemuja Hawaii sebagai “surga dunia” tampaknya kini harus berpikir ulang. Mereka yang tergila-gila menyandingkan Morotai sebagai “Hawaii-nya” Indonesia juga saatnya harus lebih percaya diri. Hawaii hanya fatamorgana. Ia memantul silau dari cermin kedigdayaan aneka fasilitas wah yang serba mudah diakses. Para pemuja Hawaii melupakan satu hal, bahwa keabadian yang paling nikmat justeru terletak pada originalitas atau genuin.
Lihatlah Morotai. Meski perairannya rentan diterjang perubahan iklim dan pemanasan global karena berada di laut lepas Samudera Pasifik, tapi daya tahannya paling tidak diamankan justeru oleh letak geografisnya yang sangat dipengaruhi oleh Laut China Selatan.
Sederhananya: ketika perairan laut seluas tiga juta kilometer persegi itu dihajar oleh gejolak iklim global, banyak sekali pihak yang bakal menekan gejolak tersebut. Turut campur pihak yang berkontribusi barangkali nyaris setara dengan tingkat konflik yang memperebutkan dominasi lautan “berdarah” tersebut.
Di gelanggang lautan yang penuh ketegangan itu, posisi Morotai lebih dekat dengan Filipina. Kalau mengikuti arah mundur jarum jam, dari Filipina terkoneksi dengan Brunai, Malaysia, lalu menyenggol Natuna sebelum ke Vietnam dan berakhir di China. Tapi geosentris Morotai lebih dari itu. Ia mencakup Asia Mailand, Asia Tenggara, Jepang, Kawasan Pasifik dan Australia.
Bukan kebetulan, dalam lingkaran strategis itu pula Sail Morotai 2012 digelar. Bukan saja menempatkan Morotai dalam destinasi pariwisata dunia. Lebih dari itu menjadi ajang napak tilas Perang Dunia II. Kepentingan tempur pada perang akbar itu sesungguhnya merupakan turunan setelah kepentingan ekonomi. Ini juga berlaku dalam ketegangan militer Laut China Selatan.
Pantas pada era Perang Dunia II, Jepang menjadikan Morotai sebagai salah satu pusat pertahanan penting. Untuk merebut Morotai dari ambisi Asia Timur militer Jepang, sedadu Sekutu yang dipimpin Jenderal Douglas MacArthur terpaksa memboyong ratusan pesawat tempur dari pangkalan yang mereka dirikan di Filiphina. Burung besi yang berseliwer itu terdiri dari pesawat pengebom, angkut dan 63 batalion tempur. Dalam waktu tiga bulan, Morotai disulap menjadi pangkalan militer Divisi VII Angkatan Perang AS dan sekutunya.
Saksi bisu pertempuran itu bisa disaksikan pada Museum Perang Dunia II di Morotai. Isinya replika maupun aseli peratan tempur perang Jepang versus Sekutu. Salah satunya bangkai Bristol Beuford, pesawat pengebom Australia untuk menghancurkan kapal perang Jepang. Pesawat ini ditemukan pada kedalaman 40 meter perairan selatan Morotai.
Karena menyangkut kepentingan ekonomi bersama itulah sudah selayaknya negeri pengerumun Laut China Selatan saling singsing lengan mengembangkan energi ramah lingkungan. Tentu agar kelestarian ekosistem dan stabilitas temperatur air di jalur strategis pelayaran yang menyimpan kekayaan maritim tersebut senantiasa terjaga.
Sejak satu dasawarsa belakangan, kesempatan itulah yang dioptimalkan Jepang di kawasan Pasifik sekarang, yang merupakan lumbung konservasi energi panas laut dunia. Jepang punya pengalaman kuat dan panjang dalam proyek OTEC. Setelah "Sunshine Project" yang digarap oleh pemerintah Jepang secara patungan dengan Tosibha dan Tobishima gagal pada era 1970-an, mereka menebusnya dengan proyek eksperimental stasiun pembangkit OTEC berkapasitas 1-10 MW di atas laut. Penggarapan proyek ini sangat serius hingga menelan satu dekade 1980-an penuh.
Kepercayaan diri para insinyur Jepang makin tebal. Mereka bertekad membangun stasiun-stasiun pembangkit OTEC skala komersial dengan kapasitas 50-100 MW di dua lokasi kegagalan proyek era 1970-an itu: Osumi dan Toyama. Hasilnya: harga produksi listrik bertenaga air laut hangat di dua daerah tersebut sama-sama 13 Yen/KWH. Meskipun pambangkit skala 100 MW tidak tercapai karena Jepang belum menemukan desain terbaiknya kala itu, setidaknya seukuran zaman energi bersih belum sepopuler sekarang, Jepang sudah bisa menargetkan kelayakan ekonomis OTEC.
Dengan menjadikan kawasan sendiri sebagai kelinci percobaan itulah Jepang mulai menggarap OTEC di daerah-daerah kepulauan pada negara negara Pasifik di era 1990-an. Laba rugi atau cashflow produksi yang sesuai kapasitas listrik dan kualitas teknologi yang digunakan, tentu tak semahal pada wilayah Jepang yang dikenal beriklim dingin. Itu karena air laut di sekeliling kepulauan Pasifik, khususnya yang membentang di perairan tropis Indonesia, berkontur perairan hangat.
Di era perdagangan Pasifik yang telah menggeser dominasi perdagangan Barat seperti sekarang, efisiensi ekonomi OTEC sebangun dengan efisiensi sosial penggunaan energi bersih tersebut, berupa keberlangsungan ekosistem kehidupan yang bebas emisi karbon. Masuknya Morotai dalam agenda pengembangan OTEC oleh Jepang pada pertengahan 2016 terbilang sangat telat. Ini kalau diukur dari ikatan bathin yang terjalin melalui patriotisme Teruo Nakamura yang tak kalah dengan elit Samurai masa klasik. Tapi namanya kerjasama G-to-G yang menggunakan dana hibah dari Jepang, tentu pemerintahnya bebas memilih di mana dan kapan saja.
Barangkali dengan cara itulah Jepang menghormati arwah Teruo Nakamura dan menebus kesalahannya pada masyarakat Morotai. Atau lebih tepatnya, menghormati kebesaran hati masyarakat pulau tersebut. Mengenang sejarah herois perjuangan Morotai dalam simpul Perang Dunia II itu, pemerintah Morotai tidak hanya mendirikan patung Jenderal Douglas MacArthur, tapi juga patung sang prajurit terakhir: Teruo Nakamura.
Bagi tentara Angkatan Udara (AU) RI, peristiwa penjemputan Nakamura di belantara Morotai mengandung nilai sejarah bagi masyarakat dunia. Nakamura menjadi saksi hidup bahwa perdamaian dunia di atas segalanya, sesengit apapun konfrontasi ekonomi dan militer. Para serdadu AU sampai-sampai rela menyanyikan Kamigayo, lagu kebangsaan Jepang. Ini tak lain sebagai siasat agar Nakamura tidak hara-kiri atas penjembutan yang bakal dia kira sebagai penangkapan dirinya pada masa yang masih ia anggap perang. [] ALFI RAHMADI